Thursday, May 24, 2007



27 MEI 2006 (setahun gempa yogyakarta 5,9 SR)


S
ubuhku telat. sudah pukul 05.30 WIB. ya beberapa hari ini yang namanya solat subuh selalu diujung waktu. entahlah....akhir-akhir ini aku sulit mengalahkan kantuk, hawa kasur dan hangat selimut untuk bersegera solat subuh. mungkin dinding masjid sedikit mengolok-olokku karena beberapa subuh telah tertinggal untuk dihabiskan disana. aku keluar kamar dengan terkantuk-kantuk, apa harus maklum ya gara-gara tadi malam tidur pukul 00.00 padahal biasanya kalo memang bisa bangun pagi, tidur jam berapapun bisa bangun tersentak. Setelah ambil wudhu, aku bukannya bergegas malah berlagak kayak sudah solat saja. seorang temen kos dengan ramah menyapa “selamat Pagi!!!” agar tak kecewa ku balas saja masih dengan terkantuk-kantuk, “pagiiii...!!!” ehem..agak serakk.

Ah, kuputuskan untuk mendengkur kembali setelah dengan singkat kuakhiri solat pagi ini. namun sebelumnya aku mengintip ke jendela. wah fajar sudah mulai merah merekah menghiasi langit pagi sejuk ini. nyam..nyam acara molor kulanjutkan, padahal kalo ayahku tau pasti beliau marah besar dan pecahlah perang dunia ke3. ah...tinggal di kos ini..mumpung gak ada patroli dari rumah. miring kekanan mepet ke tembok kamar, sambil mengapit tangan di sela kakiku, posisi favorit kalo kedinginan. Badan gendut ini dengan bebas mendarat diatas kasur. hmm nyaman..

........

deg.....deg....deg....deg......deg deg deg deg deg

......

Aku sontak kaget....terkejut, balik badan dan berdiri. Goncangan hebat di kamar ku begitu luar biasa....aku berfikir ada kegiatan yang mengakibatkan tanah ini berguncang. Suaranya kencang, seluruh isi kamar berguncang hebat....aku merasa seperti dalam gerbong kereta api yang sedang melaju kencang dengan goyangan yang hebat. Kontan saja aku keluar kamar tapi tak lupa aku mengenakan jilbab, walau tak yakin ini goncangan hebat akibat peristiwa alam, aku berlari keluar. Ternyata teman-teman satu kos sudah lebih dulu lari menuruni tangga. Aku menyambar jaket digantungan balik pintu, malah aku masih sempat berteriak mengingatkan teman-teman untuk mengenakan jilbab, pikirku agar kalo kami keluar rumah tetap mengenakan jilbab walau dalam keadaan kacau sekali pun. Sampai di lantai bawah dan di teras... ternyata teman-teman sudah berada dibawah dengan muka pucat pasi.

Ya..ini namanya GEMPA, dan seumur hidupku baru saat ini dengan hebat aku merasakan gempa, malah dulu walau gempa kecil pun tak pernah kurasakan, ternyata keinginan bisa merasakan gempa kualami juga. Tapi terang saja aku pucat dan jantung berdebar kencang. Kami semua terdiam...untung semua penghuni kos sudah sadar dari tidur pagi itu. Kulihat jam dinding di teras pukul 06.05 (lebih cepat 10 menit-pen). Kepalaku pun melongok keluar di sela-sela pagar yang masih tertutup rapat. wah sudah banyak orang keluar rumah dan semuanya tersentak kaget, sama seperti yang kami alami. Masing-masing menenangkan diri. Malah ketika sebentar dibawah.. sempat goncangan kecil terasa. kami panik lagi. akibatnya seorang teman jadi jatuh karena shock...semua bergerak spontan menolong. ada yang menangkap badannya, sebagian mengambil kursi bambu untuk merebahkan tubuhnya yang sudah dingin dan pucat. tentu saja bantuan bantal kepala dan segelas air minum diminta pada penghuni kamar yang terdekat dengan pintu.

Sementara yang lain termasuk aku buru-buru mengambil handphone dan dompet yang sejauh ini dinilai lebih penting dibanding yang lain. mulutku yang dingin tak berhenti mengucapkan ALLAH. aku takut dan masih tersisa rasa kaget saat bangun tadi. kulirik tiang listrik yang kabelnya sudah bergoyang2 seperti permainan lompat tali. kujelajahi wajah teman-teman satu persatu, hanya satu yang kutangkap dari airmuka mereka yang pucat dan dingin, sebuah keterkejutan atau bahkan ketakutan dan kekhawatiran. tak jarang juga bibir mereka berkomat-kamit berzikir atau sekedar mengucapkan asma ALLAH.

Subhanallah..darahku berdesir....detak jantungku memacu hebat. seorang teman menuntun tanganku kearah jantungnya yang juga sudah berdegup kencang. tak kuasa ia pun terduduk di lantai teras... seorang mengarahkan jangan duduk di bawah beton takutnya kalau roboh akan menimpa. semua bergeser dan untungnya di depan teras ada ruang kosong yang beratapkan langit. semua berhamburan. aku sibuk memencet nomer handphone keluarga di Pematang Siantar dan kakak di Jambi. tak satu pun tersambung. sementara seorang teman yang menyapaku tadi pagi terduduk tak kuasa karena kakinya keseleo saat lari tadi. yang lain juga sibuk menghubungi keluarganya dan lainnya membantu temen yang berbaring dikursi tadi. aku terdiam tak bisa berbuat apa-apa. hanya memandangi sekitar.

Lama berdiri dan mondar mandir, aku terpikir warnet tempat aku bekerja. bagaimana keadaan disana. aku membuka pagar dan terlihat pemandangan orang-orang yang berkumpul didepan rumahnya masing-masing. aku berjalan menuju warnet. seorang teman mengejar “ mau kemana, Dang?” aku yang bergegas segera menghentikan langkah, “mau ke Shikyu, Mbak”.

“aku ikut..” kami pun bergegas kewarnet.

Di warnet ada teman operator.. ia pun menyambut kami dengan cerita kagetnya tentang gempa. ia juga menunjukkan garis-garis retak didinding yang banyak mengukir di seluruh ruang warnet itu. aku tak berselera masuk kedalam. setelah kuamati sesaat aku pun memilih duduk diluar. seorang teman yang lain datang bersama adiknya. mereka mencoba mencari informasi tentang gempa, setelah itu kami pun bercakap2 sebentar. saling bertukar pengalaman yang sebentar tadi dengan gegap gempita. perut ku tak enak...sepertinya efek dari cemas atau memang mau kebelakang. kuputuskan sebelum menyesal aku langsung lari ke kamar mandi. walau cemas, akan ada gempa lagi.. aku pasrah dari pada kutahan atau malah keluar diluar. aku pun berniat sekalian berwudhu. bisa saja ini jadi solat Dhuhaku yang terakhir..entahlah...dengan seadanya dan air yang sedikit aku solat di belakang warnet.

Teman ngobrol tadi pun bubar, yang satu mau memeriksa kosnya, temen satu kosku yang satu mau mandi sebelum dia bertugas jaga warnet, yang satunya lagi bersama adiknya juga bubar jalan. aku sendirian di warnet daripada bengong dalam sepinya ruangan ini lebih baik kubuka web browser, kucari sedikit informasi, memang benar, di salah satu website menuliskan, tadi pagi sekitar pukul 05.57 WIB kota Yogyakarta diguncang gempa tektonik berskala 5,9 skala richter. Pusat gempa diperkirakan berada di laut selatan Yogya. wah bisa tsunami, aku membatin.

Tak lama temen kosku itu pun datang karena memang saat ini tugasnya yang berjaga. kami memang teman kos dan sesama rekan operator. kutanya padanya, “gak papa ditinggal sendirian kan?”. “ya gak papa deh,” jawabnya agak ragu. “mau mandi dulu, kalo ada apa-apa telpon aja. pulang ya..assalamualaikum”. tak sempat kudengar balasan salamku atau memang tak di balas aku berbegas pulang ke kos. sampai di kos, tampak agak sepi, sepertinya sebagian orang sudah bergegas membawa bekal dan berniat mengungsi bahkan pulang ke kampung halaman. sementara aku naik ke lantai atas dan yang lain sedang membersihkan kamarnya. aku pun masuk ke kamar, kuperhatikan ruang 3x2,5 itu baik-baik. barang-barang kecil sudah terjatuh ke lantai dan berserakan. begitupun kain sarung dan bantal yang kutinggal lari tadi. Untungnya TV dan barang-barang yang di dinding tak turut mendarat ke lantai. Tapi ...sedikit berlubang plafon kamarku tepat diatas lemari pakaian. lobangnya hanya secuil, membentuk segitiga sama sisi. heran..dari semua kamar yang ada hanya plafonku yang berlubang. padahal plafon yang lapuk karena air bukan di sana. entahlah.. aku ikut membereskan kamar seperti yang lain. aku berniat mandi, kuambil handuk yang sudah kena lumpur dari genteng. sebelum masuk kamar mandi aku sempatkan menyalakan TV lagipula masih ada orang di kamar mandi. Sempat kami dengarkan sekilas berita tentang gempa. Kami konsentrasi mendengar berita. tiba-tiba.....

goncangan terasa kembali, masih sedikit kuat walau tak sehebat tadi...

Kami semua berteriak gempa....teman yang dikamar mandi tak sempat mau sikat gigi berlari keluar kamar mandi. TV kumatikan, handuk langsung ku lempar ke kursi dan jilbab serta jaket kuraih langsung berlari menuruni tangga disusul teman ku yang lain. sampai di bawah langsung kubuka gerbang sekuat tenaga agar terbuka lebar. Begitu pagar dibuka, langsung disambut dengan teriakan “air...air...laut naik...cepat lari kak...!!!” aku dan temen-temen yang dibelakang langsung kaget. tapi aku masih sempat diam sebentar. aku berfikir..kalau tadi temen yang membawa kabar air naik tadi dari Bank di daerah UGM. berarti airnya sudah sampai UGM dan aku pun melihat ke arah jalan raya, banyak motor berbondong-bondong menyelamatkan diri. Kami pun lantas berlari tak tentu arah, aku yang berada paling depan diteriaki teman yang dibelakang, “mau lari kemana?” aku tak hanya panik malah juga bingung. Sekenanya aku menjawab “..ng....ng lari ke utara” teriakku sambil berlari seperti memimpin pasukan perang yang tak tentu arah. Aku teringat pula pada teman yang diwarnet, langsung aku berlari ke belakang warnet berniat menghampiri teman tadi. Aku pun belok kanan, sontak pasukan kecil tadi rem mendadak dan bertanya “lho mau kemana?”. “udah lanjut aja...lari.!!!!!” teriakku sedikit gemetar. Segera saja aku memaksa teman keluar dari warnet dan ikut lari menyelamatkan diri bersama kami. Si teman pun tanpa befikir panjang mengamini perkataanku. Di tengah jalan, seorang warga menanyaku “ada apa mbak?”. Dengan percaya diri dan tanpa kejelasan informasi aku menjawab dengan sekuat tenaga, “ada air laut naik” ah entahlah pikiranku kacau.

Aku melanjutkan lariku bersama teman-teman. Ternyata diujung jalan sudah banyak orang-orang yang berlari panik menyelamatkan diri tak tentu arah. Yang dari selatan (arah laut) berusaha ke utara (arah ke gunung Merapi) dan berfikir akan selamat disana. Ternyata orang-orang yang dari utara malah berlari ke arah selatan karna pada saat gempa, Merapi sempat menyembulkan laharnya. Kebetulan kos tempat aku bernaung berada di utara dan dekat dengan Merapi. Aku dan teman sempat berhenti. Dalam bayanganku kalau air sudah sampai disini (jalan Kaliurang-pen) pasti minimal semata kaki sudah terlihat. Tapi ini tidak, bukan berharap seperti itu tapi aku teringat pada tayangan peristiwa tsunami yang diambil gambar amatirnya tampak air perlahan tapi pasti menyeret seluruh benda-benda yang entah dari mana datangnya.

Kami berhenti dipinggir jalan berdiskusi diantara orang-orang yang panik tadi. Semua jadi kacau persis seperti peristiwa Desember lalu di bumi Aceh. Sebagian teman terpisah dari rombongan, kami berusaha menghubungi tapi sia-sia karena akibat gempa jaringan telepon terputus. “kita harus tau dulu bener gak di selatan air sudah naik.” Seorang temen berargumen memecahkan lamunan masing-masing. “iya tapi gimana?” kami sudah cukup bingung dengan peristiwa ini. “ya kita tanya atau telpon pihak yang tau persis informasi ini”. Aku malas berfikir tapi aku setuju kalau kami mengakhiri lari kami diantara orang-orang tadi. Lama kami berdiri, masih terasa pusing karena bumi ini masih terasa bergoyang. Tiba-tiba aku teringat ke warnet, kami tak sempat mneguncinya tadi. Aku khawatir akan ada pihak yang mengambil kesempatan ditengah-tengah kepanikan ini. Hasrat hati ini ingin kembali kesana, tapi aku juga berfikir kalau memang tsunami datang, aku sibuk menyelamatkan harta benda aku akan mati bersama harta. Namun ini juga soal amanah menjaga harta orang lain yang dititipkan bila semuanya hanya kepanikan belaka. Ah..aku benar-benar dilema.

Akhirnya kami memutuskan untuk kembali kekos, sampai disana ternyata kulihat warnet sudah terkunci rapat dan digembok. Sementara di kos, gerbang terbuka lebar. Dasar orang panik!! kos kami bisa saja kemalingan.

Tiba-tiba...deg...hatiku kembali berdegup tapi bukan karena goncangan hebat lagi tapi karena kulihat masjid yang tak jauh dari kos. Batinku lirih berbisik, “kenapa aku tak menyelamatkan diri dari ketakutan kepada yang Maha Menyelamatkan. Tempat dimana rumahNya benar-benar aman” masih terngiang diingatanku betapa porak-poranda Aceh dihantam tsunami tapi yang namanya masjid sesederhana apapun bangunannya tetap berdiri kokoh. Aku merinding. Dengan langkah gontai aku masuk kedalam kos. Persendianku benar-benar lemas. Aku naik menyusuri tangga yang melalui kamar-kamar yang sudah ditinggal lari penghuninya. Aku lari kemana?

Aku disambut teman dengan ceritanya. Aku agak malas berbicara. Aku segera menuju kamar mandi, masih tersisa peralatan mandi dan handuk temanku sebelum lari tadi. Agak seram hati ini mengingat kalau sedang dikamar mandi tiba-tiba gempa terjadi lagi..ahh aku pasrah saja. Sekarang menjadi kesepakatan kami bila ke kamar mandi harus saling berjaga-jaga. Aktivitas seperti sikat gigi atau selain mandi maka pintu kamar mandi tak usah ditutup. Aku pun mempercepat mandiku, biar langsung bersiap-siap keluar lagi. Selesai mandi hati ini agak sedikit lega. Seorang teman menyambut dengan ajakan untuk menunaikan solat sunnah Dhuha berjama’ah dan aku diminta untuk memimpinnya. Sekalian saja solat Taubat pikirku ya setidaknya sekali ini agak serius. Walaupun Tuhan jauh lebih tahu kalau aku dan mungkin kami bisa saja lalai lagi sehabis ini. Tapi solat kali ini kami tunaikan dengan khidmat, airmata pun tak pelak membasahi hati ini. Doa kami panjatkan dengan sepenuh hati. Entah karena takut yang begitu hebat atau benar-benar merasa dekat denganNya.

Seusai solat kami semua saling bermaafan lebih khidmat dibanding suasana Idul fitri. Tentu saja karena kami semua berfikir mungkin bisa jadi ini pertemuan terakhir kami setelah itu siapa tahu salah satu dari kami dipanggilNya. Kemudian masing-masing kami pun berkemas, menyiapkan ransel untuk membawa bekal pakaian bahkan surat-surat berharga dan entah untuk sampai kapan. Semua masih serba menduga-duga. Lantas semua kamar dikunci, kami yang sudah tinggal beberapa orang keluar dari kos. Tak tahu tujuan. Bagiku tidak mungkin kembali ke kampung halaman di utara sumatera. Selain jauh, kondisi belum kondusif. Namun bagi teman-teman yang dekat rumahnya dari Jogja lebih memilih pulang saja. Kami yang tertinggal hanya bisa menunggu diluar kos dengan pakaian rapi dan lengkap dengan ransel layaknya pasukan yang sudah siap siaga berangkat. Lagi lagi tak tentu arah. Tak ada yang berani masuk ke dalam. Takut bila gempa susulan datang lagi.

Kami tak bisa mencari informasi yang lebih tentang gempa ini. Hanya samar-samar terdengar dari radio handphone yang memberi informasi itupun tak begitu lengkap. Aku mencoba menghubungi ke rumah. Akirnya bisa juga berbicara dengan ibu. Dari seberang kutangkap ada nada khawatir dari suara beliau. Menanyakan keadaanku dan memaksa untuk pulang saja ke rumah. Ya...aku sedikit terharu. Bagaimana tidak, selama 3 tahun merantau di Jogja baru kali ini aku disuruh pulang. Bahkan lebaran saja tak pernah ada tawaran menggiurkan seperti ini. Dasar! Masih sempat-sempatnya aku berfikir seperti ini. “belum bisa kemana-mana mak...jalur udara dan darat terputus dan kondisi belum meyakinkan” itulah alasanku untuk meredakan kekhawatiran si emak. Tapi beliau tak mau peduli, pokoknya aku harus pulang segera dengan cara apapun. Wah kalau begini repot jadinya. Setelah mengakhiri pembicaraan, aku jadi pusing, selain memang keadaan bumi belum stabil, perintah untuk pulang segera tak boleh ditentang.

Kami semua hanya bisa duduk menunggu di depan kos, kebetulan depan kos menghadap selokan Mataram sehingga ruang pandangnya cukup luas. Kupandangi sekitar, tampaknya orang-orang yang tadi pagi panik sekarang terlihat biasa-biasa saja. Apa memang hanya kami yang siap-siap hendak berlari. Masing-masing kami terbawa lamunan. Aku sendiri merenungi kejadian yang bagai mimpi itu. Keadaan orang-orang tadi begitu persis gambaran tentang kiamat. Aku tersadar bahwa begitu kecilnya manusia dihadapan Tuhan. Ini baru goncangan yang kecil. Bagaimana bila nanti terjadi kiamat yang sesungguhnya. Ah entahlah...mungkin akan lebih parah dari ini. Aku sampai bergidik memikirkannya.

Seorang teman mulai bercerita, mengulang rentetan kejadian tadi pagi, mulai ketika kami berhamburan keluar kamar sampai saat kami berlari bermaksud menyelamatkan diri. Ada terselip kegelian di dalam hati tapi juga malu pada diri sendiri pun turut menyeruak. Malu karena beginilah manusia bila ketakutan. Padahal saat ini aku dan mngkin yang lainnya belum menjadi manusia seutuhnya. Tertawa kami getir. Hanya berusaha saling menghibur agar tidak terlalu stres menghadapi semuanya.

Obrolan kami terhenti ketika azan Zuhur berkumandang. Kami langsung menuju mesjid, ya selain masih takut masuk kedalam kos, mungkin lebih aman di masjid pikir kami. Sejenak aku membatin, coba kalau tiap hari begini tanpa perlu ada gempa dulu baru kami ramai-ramai ke mesjid. Ya mungkin Tuhan pun berkata demikian,manusia baru sadar bila dijewer dulu. Itupun kalau sehabis dijewer sadarnya akan tahan lama. Biasanya berdasarkan pengalamanku, sering sekali kesadaran itu bagai musim yang selalu silih berganti. Entahlah aku sendiri lelah menjadi pendosa, kembali lalu tersesat lagi, sehabisnya kembali lagi dan seterusnya. Mudah-mudahan akan berakhir dengan baik. Sehabis solat berjamaah, kami berniat beli makanan. Padahal perut tak terasa lapar apalagi berselera tapi kami harus makan karena butuh tenaga. Untungnya warung seberang kos langganan kami tetap buka. Kami berbondong-bondong kesana, membeli makanan sekenanya. Tak seperti biasanya, memilih mana yang menggugah selera. Kali ini cukup membuat perut terganjal saja.

Kami kembali lagi ketempat berkumpul semula. Mungkin bila seseorang memperhatikan gerak-gerik kami pasti akan keheranan. Kami seperti musafir yang senantiasa membawa-bawa bekal perjalanan.

Siang ini kami menghabiskan waktu duduk didepan kos dengan peralatan lengkap. Sebagian teman yang tadinya ikut rombongan memutuskan untuk pergi. Ada yang pulang ke rumah dan ke tempat saudara di luar Jogja. Ya.. tingallah kami yang berasal dari Sumatera yang tak tau harus kemana. Kami tinggal bertiga dan terpaksa hanya di kos. Sebenarnya teman menawarkan untuk ikut besertanya ke tempat saudara. Tapi aku memilih untuk menemani teman yang tak bisa kemana-mana.

Hari makin sore. Kami memutuskan untuk masuk saja. Kami tak berani masuk atau berlama-lama di kamar karena takut terjebak bila nanti ada gempa susulan. Semua perlengkapan ditaruh di ruang TV. Termasuk kasur untuk kami tidur nanti malam. Semua kamar terkunci rapat, begitupun kamar kami, hanya mengambil barang seperlunya. Aku sendiri membawa ijazah D3ku, beberapa baju ganti, pakaian dalam dan peralatan mandi dan beberapa perlengkapan lain.

Diam-diam aku mengamati kamarku, sempat terbersit di batin, wah bagaimana kalau gempa keras mengguncang lagi kos ini roboh, maka barang-barangku akan hancur. Padahal didalamnya ada kado ulang tahun pemberian teman-teman yang baru kubuka dua minggu lalu. Ya sudahlah harus bagaimana, semua ini hanya titipan Tuhan. Kalau sewaktu-waktu Ia mau mengambilnya maka aku harus siap.

Malam ini terasa sepi, siaran TV tak ada. Kami hanya bertiga dan ada anak baru yang masuk kos. Lumayanlah ada teman. Anak baru itu pasti tidak menyangka kedatangannya pertama kali ke Jogja disambut gempa. Kami keluar mencari makanan menelusuri sepanjang selokan Mataram utara fakultas kehutanan UGM. Diluar begitu sepi hanya beberapa orang yang kami temui sedang berkumpul di depan rumah mereka. Warung-warung makan dan kios-kios tutup. Jogja sangat mencekam malam ini. Jogja bisa terasa sepi hanya bila hari lebaran idul fitri saja, namun kali ini benar-benar mencekam. Semua orang was-was dan membisu.

Untungnya satu warung tetap buka, kalau tidak bisa saja kami kelaparan malam ini. Semua orang sepertinya juga kewalahan mencari warung makan yang buka. Kami pun pulang membawa makanan yang hanya untuk malam ini. Kami berfikir bagaimana besok, apakah ada warung yang buka. Padahal kami satupun dari kami tak ada yang menyimpan makanan di kamar. Ya lalui saja malam ini. Besok akan difikirkan bersama-sama lagi.

Sampai di kos kami menyantap makanan dengan waspada. Ada tertinggal sedikit trauma. Walau sedikit tetap membuat kami selalu was-was. Kami mencoba melihat TV mungkin kali ini siarannya bisa seperti sedia kala. Siarannnya biasa saja tak ada tayangan yang membuat kami mendapat informasi tentang gempa. Separah apakah gempa tadi pagi, dimana pusat gempa yang sebenarnya, apakah ada korban jiwa. Kami benar-benar buta informasi. Hanya sepi yang dirasa dan cekam yang menghantui hati kami masing-masing.

Sekitar pukul 23.00 malam kami bergotong royong membawa kasur ke teras karena malam ini kami memutuskan untuk tidur diluar saja. Takutnya bila nanti kami lelap tak terasa bila gempa datang lagi. Semua perlengkapan tidur pun dibawa. Kami berempat tak memikirkan apa-apa selain tidur dengan aman malam ini. Aku melongok keluar pagar yang sudah kami kunci dari tadi. Ternyata semua orang disekitar kos ini berjaga-jaga diluar dan bernasib sama dengan kami, tidur bersama diluar. Malah mereka tidur di kaki lima depan rumahnya.

Kasur yang dibawa hanya satu. Itupun peninggalan seorang teman yang sudah pulang kampung. Kami tak bisa membawa kasur masing-masing karena nanti akan lebih repot. Aku memilih tidur di kursi bambu di teras. Selain memang hobi tidur di kursi, biarlah ketiga temanku saja yang dikasur karena lebih nyaman di kursi ini. Lagipula salah satu teman yang keseleo tadi pagi saat lari, harus lebih nyaman tidurnya. Tapi teman itu menawarkan ide konyol, “yuk...kita foto!” kami pun menyambut tawarannya dengan tawa lepas. Ah ada-ada saja masih sempat-sempatnya kami berfoto disela-sela ketakutan ini. Tapi dokumentasi ini juga penting pikirku, ya walaupun tak detail setidaknya ada kenang-kenangan dari kejadian ini.

Setidaknya kami agak lebih rileks, karena seharian kami merasa tegang dengan situasi. Kami pun mencoba beristirahat, walaupun mungkin tak bisa lelap seperti biasanya. Berusaha pejamkan mata, walau saat ini hanya ada kecemasan dalam hati yang menemani malam sunyi ini. Mungkin karena lelah akhirnya kami tertidur namun sekitar pukul 01.00 hujan rintik turun. Seorang teman terbangun dan mengusulkan agar kami agak masuk kedalam. Tetap saja kami tak mau masuk ke dalam atau tidur di kamar masing-masing. Kami berfikir lebih baik kami diluar dan saling menjaga, daripada didalam kami terlelap dan kalau gempa lagi tak ada yang terselamatkan. Entahlah, was-was ini sangat menyeruak dalam dada.

**********************

Beberapa hari setelah gempa, kami baru mendapat informasi yang lengkap dari TV. Bahwa gempa kemarin bukan karena gunung Merapi yang sedang aktif yang kami bisa saksikan dari lantai atas kos-kosan saat subuh tapi dari kedalaman laut selatan. Yang terpenting, gempa kemarin tidak berpotensi tsunami yang diisukan sehingga membuat Jogja mengalami histeria massa.

Ternyata banyak korban di Bantul dan Klaten. Baik yang meninggal atau pun kehilangan tempat tinggal. Kehilangan anggota keluarga, kehilangan anggota tubuh dan sebagainya. Kami baru sadar bahwa gempa kemarin adalah gempa yang cukup dahsyat. Tapi terselip dalam hati sebuah pertanyaan, bagaimana nanti kalau kiamat itu datang dengan segala gambaran yang sudah dicatat dalam Al Quran. Dalam waktu 10 menit semua rata dengan tanah. Hanya sedikit lempengan bumi yang digeser, manusia sudah kalang kabut. Kali ini Jogja berduka, Indonesia kembali luka. Tuhan sudah berkali-kali mengirim sandi kepada kita baik tersirat maupun tersurat.

Sejak gempa aku dan teman-teman kos yang tersisa, lebih sering solat berjamaah 5 waktu di ruang TV. Ya mungkin hanya musiman tapi yang terpenting saat ini hati sedang tergugah dengan rasa takut yang dititipkan Tuhan. Kami pun belum kemana-mana selama seminggu gempa. Seorang teman yang ikut menjadi relawan bercerita banyak tentang korban yang belum sepenuhnya tertangani karena bantuan dan fasilitas yang seadanya. Stok sembako, pakaian dan lampu darurat serta tenda telah habis di Jogja. Sampai-sampai para relawan harus hunting ke luar kota.

Handphone pun tak berhenti oleh sms dan telpon yang masuk. Dari sanak famili bahkan kawan-kawan lama. Aku pun mencoba menghubungi teman-teman yang juga berada di jogja. Bahkan seorang teman menanyakan adik atau kakaknya yang susah dihubungi. Tapi ya..aku pun sulit menghubungi.

Ransel yang berisi pakaian seadanya selalu siap sedia. Kami masih waspada bila gempa kembali terjadi. Walau tidur tidak lagi diluar kos, namun kami tidur di ruang TV. Gempa kecil masih selalu terasa. Kami sering terkaget-kaget dan refleks berdiri atau kadang rasanya ingin berlari. Ini yang terkadang membuat kami lebih sensitif terhadap guncangan atau suara gemuruh sekecil apapun. Trauma kecil menyelinap dalam dada kami masing-masing. Terkadang agak stres memang, sampai sudah tak tahannya seorang teman tak sadar berucap,”aduh kenapa gak sekalian aja kita jadi korban biar lega kalau begini kita takut-takut terus”. Ucapannya tak bisa disalahkan, bukan karena arogan tapi karena cemas dan ketakutan yang tak tertahankan. Aku jadi berfikir lagi. Tuhan...beginilah rasanya takut dan terasa kecil dihadapanMU. Kalau sudah begini berbuat salah sekecil apapun sudah enggan rasanya. Ya mudah-mudahan akan seterusnya seperti ini.

Monday, May 07, 2007

setiap yang berlalu lalang dalam hati ini.

semua terlalu sepat berlalu!! aku hanya diberi waktu 3 tahun+1 tahun untuk menikmati kasih orang terdekat, rentetan perjalanan ruhiyah yang kali ini benar-benar membuatku merindukan semuanya. disini aku benar-benar kemarau, pasang surut yang luar biasa, menyeret lantas menghempaskan diri di kerasnya batu karang akibat tawa sumbang.

belum bisa diri menjadi teman baik sudah berlalu semuanya. kisah ini persis daun kering yang jatuh ke tanah depan rumah. lantas angin menerbangkannya bersama sedih dan perpisahan. entahlah kemana arahnya, sampai ketika ia kan remuk diinjak kaki manusia.