Friday, December 08, 2006

ahad pagi nan mendung.

memoar 17-Juli-2005

Beberapa hari yang lalu saya dipertemukan dengan seorang wanita muda yang saya taksir seusia dengan saya. Aneh sekali, saya berkenalan dengannya lewat internet. Kami chatting dan ia mengatakan bahwa ia tertarik bahkan menggeluti dunia tulis menulis. Ia sedikit bertanya tentang menulis dan bagaimana mengirim karya ke penerbitan. Mungkin karena saya kuliah di jurnalistik jadi ia mengira bahwa saya punya pengalaman di dunia tulis menulis dan penerbitan. Padahal saya sudah bilang kalau saya belum pernah sama sekali mengirim tulisan atau semcamnya ke penerbitan. Jangankan ke penerbitan ke sebuah media saja saya belum pernah. Kemaren ia meminta tolong lewat email untuk mengirimkan karya ke sebuah penerbita di Yogya.

Saya makin heran, ia tak mau identitasnya diketahui, bahkan anehnya lagi ia malah mengizinkan kalau karya novel tersebut dikirim dan diterbitkan atas nama saya. Saya tentu tidak mau karena itu sama saja dengan berbohong pada diri sendiri. Tapi walaupun kita tidak saling kenal saya tetap saja mau berusaha membantunya tanpa ada motif apa-apa. Karena itu beberapa hari yang lalu kita membuat janji untuk bertemu. Ia memutuskan untuk mendatangi saya di kos.

Setelah bertemu tetap saja seperti saat kami chatting ia merahasiakan siapa dirinya, asal-usul atau cerita tentang hidupnya.
Malah ia meminta saya untuk mengambil naskah novelnya kepada teman lelakinya yang sama sekali tidak saya kenal. Ia mengaku tidak mau bertemu dulu, maka sayalah yang diutus bertemu di depan pusat perbelanjaan.

Dengan kriteria yang ia sebutkan saya menunggu orang tersebut selama satu jam. Saya menunggu dan tak kunjung datang orang yang dimaksud. Padahal saya ada tugas satu jam lagi, maka saya memutuskan untuk pulang saja. Tak ada firasat apa-apa dalam benak ini. Walau saya tidak kenal sama sekali, saya tetap saja membiarkan diri terlibat dalam episode kali ini. Teman-teman kos saya saja merasa aneh akan cerita ini. Bahkan berburuk sangka. Apalagi saya dititipkan sesuatu untuk diberikan kepada lelaki itu.

Malam harinya saya pun ditelepon oleh lelaki itu menanyakan alamat saya alasannya ia akan datang mengantarkan naskah novel yang sudah di printkannya buat gadis yang mengaku bernama Re itu. Kami pun bertemu, namun naskah tak dibawa malah kami bercerita tentang internet. Esoknya Re itu menghubungi saya. Ia menanyakan naskah tersebut, ya jelas saja tidak ada karena masih dibawa oleh temannya tersebut. Barulah Sabtu malam lelaki itu mengantarkan naskah tersebut ke tempat kerja saya. Lantas esok paginya saya menerima dan selintas membacanya.

Seperti biasanya saya chatting dengan Re. Saya pun memaksanya untuk mengaku siapa dia sebenarnya. Tentu saja saya penasaran karena setelah sekilas saya membca novelnya, luar biasa sekali. Tampaknya wanita ini sudah bukan sekali dua kali menulis sebuah karya tulis. Ia jauh lebih berpengalaman, berbakat dan punya kelebihan yang belum saja tampak ke permukaan. Ia tetap saja tak mau mengaku, malah ia mengirimkan email yang berisi sekilas tentang dia yang masih saya tersirat maknanya. ah...saya tak mau ambil pusing sebenarnya, biarlah siapa dia atau darimana asalnya, siapa keluarganya sata tak peduli. Saya hanya masih penasaran dengan teka-teki pertemuan kami yang sudah di setting Allah nan Agung. Saya sepertinya sedang diajarkan sesuatu oleh Sang Guru Hakikat. Saya seperti harus mengambil sesuatu dari pertemuan singkat saya dengan seorang Re. Entah kenapa pula beberapa hari ini saya bertemu dengan sosok yang tidak disangka-sangka dengan dunia menulis.

Saya masih takjub dengan skenario Tuhan yang serba misteri ini. Saya seperti diperlihatkan dengan kenyataan bahwa pernyataan semakin berisi semakin merunduk atau betapa kita tidak boleh pongah dengan apapun yang diberi pada kita. Malah saya sempat berfikir bahwa inilah saatnya saya untuk berteman dengan sesorang tanpa harus melihat masa lalunya. Saya harus menerapkan prinsip yang saya pegang teguh diam-diam bahwa jangan melihat seseorang dari kemasan atau penampilan luarnya. Istilah kerennya Don´t judge the book from it´s cover.

Apalagi seperti kasus saat ini saya sama sekali tidak tau asal usulnya. Apa mungkin juga begitulah seharunya bersahabat. Tak perlu tau siapa dia. Kita hanya berteman dengan keyakinan bahwa dia memang dipertemukan dengan kita dan menjalani cerita bersamanya ke depan bukan kebelakang.

Saya seperti ditantang dengan konsep berteman lainnya. Mulai dari berteman dekat layaknya saudara sendiri bahkan saling memiliki. Namun kali ini saya dihadapkan pada kenyataan lain. Saya seperti diajarkan tentang sifat tawadhu yang sebenarnya. Sikap hidup yang tak harus orang lain tahu tentang kelebihan ataupun kehebatn kita karena semuanya milik Tuhan. Saya diharuskan untuk belajar lagi dengan siapapu itu tanpa harus melihat siapa dia sebenarnya.

Saya juga ditantang untuk jadi orang yang dipercaya atau diberi kepercayaan tanpa memandang siapa yang memberi kepercayaan. Saya seperti dipaksa untuk membuka topeng, menanggalkan kepura-puraan, dan menelanjangi kebohongan-kebohongan manis yang lebih tepatnya sebuah kemunafikan.

Saya lantas malu pada diri sendiri. Saya menjadi semakin kecil dihadapan Sang Maha Besar. Saya bukan apa-apa dan siapa-siapa. Begitulah ternyata saya diberi Tuhan contoh nyata tentang pernyataan yang selalu keluar dari bibir qalbu saya. Karena ternyata kata-kata itu juga keluar dari mulut seorang Re yang masih tetap menjadi misteri buat saya. Tak perlu menonjolkan diri dan kata orang bijak orang yang beradab adalah orang yang tidak banyak bercerita tentang dirinya. Mungkin itu yang perlu saya camkan dalam hidup ini. Karena memang 3 tahun belakangan ini saya selalu dipertemukan dengan orang-orang yang tawadhu akan kelebihannya. Diam emas yang menyimpan banyak mutiara di dasar dirinya. Itulah yang saya sangat butuhkan. Saya benar-benar ingin seperti itu. Orang yang menyimpan cerita kehebatannya dan tampak tidak tau apa-apa. Padahal ia orang yang ahli di dunia yang ia geluti. Disepelekan orang lain karena penampilannya tak meyakinkan padahal ialah orang yang dicari. Tuhan, memang harus saya bersyukur atas jalan cerita yang kau pilihkan untuk diri ini. Tapi saya selalu butuh pertolonganMu untuk memecahkan teka-teki berikutnya. Semoga aku lulus untuk ujian berikutnya agar dapat aku memetik hikmah dari setiap kejadian sehingga hamba bersyukur atasNya.

No comments: